Sabtu, 15 Desember 2007

Artikel "Kegemukan dan Obesitas"



Kegemukan dan Obesitas

Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah penderita kegemukan (overweight) dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia, masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas (Sunita Almatsier, 2004).

Apakah kegemukan dan obesitas itu?
Kegemukan dan obesitas merupakan dua hal yang berbeda. Namun, keduanya sama-sama menunjukkan adanya penumpukan lemak yang berlebihan di dalam tubuh, yang ditandai dengan peningkatan nilai indeks massa tubuh diatas normal.
Penderita obesitas mengalami penumpukan lemak yang lebih banyak dibandingkan dengan penderita kegemukan untuk jangka waktu yang lama, dan berisiko lebih tinggi untuk terkena beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit payah jantung kongestif, hipertensi, diabetes melitus tipe 2 dan sebagainya.

Bagaimana cara menentukan kriteria kegemukan dan obesitas?
Sebagaimana telah disebutkan diatas, kriteria kegemukan dan obesitas ditentukan berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh (IMT). Cara menghitung IMT ditentukan berdasarkah rumus berikut:

IMT= Berat badan (kg)/ kuadrat tinggi badan (meter)

Kriteria kegemukan adalah orang yang memiliki nilai IMT antara 25,1 sampai 30, sedangkan nilai IMT untuk obesitas adalah diatas 30.

Bagaimana proses terjadinya kegemukan dan obesitas?
Kegemukan dan obesitas terjadi apabila total asupan kalori yang terkandung dalam makanan melebihi jumlah total kalori yang dibakar dalam proses metabolisme. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa penyebab kegemukan dan obesitas bersifat multi-faktor, antara lain adanya keterlibatan faktor genetik, ras, perubahan pola makan dan pola aktifitas serta emosi. Keterlibatan faktor genetik relatif sulit dibuktikan. Diduga, ada kelompok masyarakat tertentu yang proses metabolisme tubuhnya relatif lebih lambat dibandingkan yang lainnya. Kondisi ini menyebabkan seseorang memiliki peluang lebih besar untuk menderita kegemukan
dan obesitas. Sebuah penelitian di Amerika serikat menunjukkan bahwa kegemukan dan obesitas lebih banyak terdapat pada ras Afro-amerika dan Mexico-amerika dibandingkan ras lainnya.

Pola makanan masyarakat di lingkungan perkotaan yang tinggi kalori dan lemak serta rendah serat, telah memicu peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas. Masyarakat di perkotaan yang cenderung sibuk, biasanya lebih menyukai mengkonsumsi makanan cepat saji, dengan alasan lebih praktis. Meskipun mereka mengetahui bahwa nilai kalori yang terkandung dalam makanan cepat saji sangat tinggi, dan di dalam tubuh kelebihan kalori ini akan dirubah dan disimpan menjadi lemak tubuh.

Sesungguhnya, menu makanan tradisional masyarakat Indonesia yang terdiri dari kandungan energi berasal sekitar 9,6% berasal dari protein, 20,6% dari lemak dan selebihnya 68,6% berasal dari karbohidrat (Data Biro Pusat Statistik tahun 1990), telah sesuai dengan anjuran pola makan sehat menurut badan kesehatan se-dunia, WHO. Selain itu, kian berkurangnya aktifitas fisik juga berkontribusi terhadap peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas. Dalam kehidupan masyarakat modern -dengan dukungan teknologi dan sarana yang mutakhir, menyebabkan menurunnya aktifitas fisik. Penggunan elevator telah menggantikan fungsi tangga di berbagai instansi, perkantoran dan beberapa sarana umum. Adanya remote kontrol juga menyebabkan banyak orang tidak perlu beranjak dari tempatnya menonton televisi, jika ingin mengganti saluran..

Penggunaan alat transportasi bermotor juga telah menggeser peran sepeda. Akibatnya, sedikit sekali kalori yang dibakar akibat aktifitas fisik yang minim ini.
Faktor emosi juga turut berkontribusi menyebabkan kegemukan dan obesitas pada diri seseorang. Saat seseorang merasa cemas, sedih, kecewa atau tertekan, biasanya akan cenderug mengkonsumsi makanan lebih banyak untuk mengatasi perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan tadi.

Apa bahaya yang timbul akibat kegemukan dan obesitas ini?
Kegemukan dan obesitas diyakini berkaitan dengan berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit payah jantung kongestif (Congestif heart failure), hipertensi, kencing manis (Diabetes melitus) tipe 2 dan penyakit radang persendian Osteoartritis).

Beberapa pasien anak-anak yang menderita kegemukan dan obesitas juga dilaporkan mengalami periode tidak-bernafas waktu tidur (Sleep apnea) yang dapat
menurunkan mempengaruhi daya fikirnya di kemudian hari. WHO menyatakan bahwa kegemukan dan obesitas merupakan 1 dari 10 kelainan yang dapat dicegah yang berkaitan dengan berbagai macam penyakit atau kelainan degeneratif. Jadi sesungguhnya, kita dapat meminimalisasi efek negatif dari kelainan ini terhadap
kesehatan, dengan memperbaiki pola makan dan meningkatkan aktifitas fisik.

Bagaimana cara mengobati kegemukan dan obesitas?
Prinsip terapi dari kegemukan dan obesitas adalah pengaturan pola makan (diet) yang sehat dan meningkatkan aktifitas fisik. Untuk itu, sebaiknya bagi Anda yang mengalami masalah ini, segera berkonsultasi kepada dokter, bahkan jika perlu seorang ahli gizi medik. Hal ini penting menentukan diet dan aktifitas fisik yang sesuai dan aman untuk Anda. Hindarilah mencoba mengatur sendiri diet yang terlalu
ketat, karena hal ini seringkali menyebabkan tubuh kekurangan nutrisi. Upaya untuk mengkonsumsi obat-obatan pelangsing tubuh yang dijual secara bebas tidaklah selalu aman.

Untuk mengurangi faktor risiko kesehatan yang disebabkan oleh kegemukan dan obesitas, beberapa metode sederhana ini mungkin bisa Anda coba:
1. Cobalah menggunakan tangga untuk mencapai ketinggian 2 lantai, dibandingkan menggunakan elevator, kegiatan ini akan membakar kelebihan kalori
pada tubuh Anda.
2. Gunakanlah sepeda untuk mengunjungi rumah sahabat atau kerabat yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah Anda, daripada menggunakan mobil.
3. Jika tetap harus menggunakan mobil, cobalah memarkirnya beberapa meter dari tempat tujuan, agar Anda bisa sedikit berjalan.
4. Biasakan untuk berolahraga ringan selama 30 menit per sesi, dengan frekuensi 3 kali seminggu.
5. Cegahlah penggunaan remote kontrol saat menikmati acara televisi atau hiburan musik dari soundsystem kesayangan Anda. Sedikit gerak saat mengganti saluran televisi akan lebih menyehatkan tubuh Anda.
6. Makanlah saat mulai merasa lapar, dan berhentilah makan sebelum kekenyangan. Hindari sikap berlebihan dalam mengkonsumsi makanan. Ingatlah, setiap kelebihan kalori akan disimpan dalam bentuk lemak tubuh, dan berpotensi menjadi sumber penyakit.
7. Jika Anda menginginkan makanan ringan pada waktu senggang, pilihlah buah-buahan untuk menggantikan makanan ringan siap saji. Biasanya makanan ini
mengandung kalori dan tambahan lemak yang tinggi.
8. Hentikan kebiasaan mengudap makanan ringan saat menonton tayangan televisi, sebab Anda akan kesulitan mengontrol jumlah kalori yang masuk melalui makanan tersebut.

------

http://www.asysyifaa.org

Artikel "Rokok dan Tuberkulosis"


Rokok dan Tuberkulosis Paru

* Tjandra Yoga Aditama

TUBERKULOSIS (TB) dan kebiasaan merokok merupakan dua masalah besar dunia, dan keduanya merupakan agenda penting WHO dewasa ini. Keduanya juga merupakan semacam paduan dari gambaran penyakit menular penting (tuberkulosis paru) serta kebiasaan merokok yang banyak berhubungan dengan kejadian penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, asma, dan kanker paru. Yang kemudian jadi menarik karena ternyata ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan penyakit infeksi, dalam hal ini tuberkulosis paru. Hal ini jadi amat penting khususnya bagi Indonesia yang merupakan penyumbang kasus TB ketiga terbanyak di dunia dan juga memiliki jumlah perokok nomor lima paling besar di dunia, dua "prestasi" yang tidak perlu kita banggakan!

Tuberkulosis

Dewasa ini sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis. Setiap tahun ada sekitar 8 juta penderita baru TB dan hampir 3 juta orang yang meninggal di seluruh dunia akibat penyakit ini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi TB setiap detik dan setiap 10 detik akan ada satu orang yang mati akibat TB di dunia. TB membunuh hampir dari satu juta wanita setahunnya, lebih tinggi dari kematian wanita akibat proses kehamilan dan persalinan dan TB membunuh 100.000 anak setiap tahunnya.

Khusus untuk Indonesia, data WHO baru-baru ini menunjukkan bahwa negara kita adalah penyumbang kasus terbesar ke tiga di dunia, setelah India dan Cina. Setiap tahunnya jumlah penderita baru TB menular adalah 262.000 orang dan jumlah seluruh penderita baru adalah 583.000 orang per tahunnya. Diperkirakan, sekitar 140.000 orang Indonesia yang meninggal setiap tahunnya akibat tuberkulosis ini.

Sampai hari ini belum ada satu negara pun di dunia yang telah bebas TB. Bahkan untuk negara maju, yang pada mulanya angka tuberkulosis telah menurun, tetapi belakangan angka ini naik lagi sehingga TB disebut sebagai salah satu reemerging disease. Untuk Indonesia TB bukanlah reemerging diseases. Penyakit ini belum pernah menurun jumlahnya di negara kita dan bukan tidak mungkin bahkan meningkat.

WHO menyatakan bahwa bila situasi penanggulangan TB tetap seperti sekarang ini maka jumlah kasus TB di dunia tahun 2020 akan meningkat menjadi 11 juta jiwa, artinya 200 juta kasus TB dalam dua dekade pertama abad 21 ini. Jumlah kasus TB akan terus meningkat, dari 8,8 juta kasus di tahun ini 1995 menjadi 10,2 juta kasus di tahun 2000 dan 11,9 juta kasus TB baru di tahun 2005.

Rokok

Pada tahun 600 sebelum Masehi, tanaman tembakau mulai ditanam di Amerika Serikat, dan pada tahun 1 penduduk Amerika mulai merokok. Sementara itu, di tahun 600, seorang filosof Cina bernama Fang Yizhi mulai menyebutkan bahwa kebiasaan merokok dalam jangka lama akan dapat merusak paru. Tahun 1729 tercatat sebagai tahun pertama ada aturan tertulis larangan merokok, yaitu di tempat-tempat ibadah di negara Bhutan. Pada tahun 1761 dilakukan studi pertama tentang dampak merokok yang dilakukan oleh John Hill. Di tahun 1950 diterbitkan 2 publikasi utama tentang hasil penelitian dampak merokok bagi kesehatan dan di tahun 1981 dilakukan penelitian besar tentang dampak merokok pasif oleh Hirayama di Jepang.

Sejarah panjang kebiasaan merokok di atas ternyata terus berlanjut. Dewasa ini di seluruh dunia diperkirakan terdapat 1,26 miliar perokok, lebih dari 200 juta di antaranya adalah wanita. Data WHO menyebutkan, di negara berkembang jumlah perokoknya 800 juta orang, hampir tiga kali lipat negara maju. Konsumsi rokok per kapitanya mencapai 1370 batang per tahun, dengan kenaikan 12 persen hingga tahun 2000. Setiap tahun tidak kurang dari 700 juta anak-anak terpapar asap rokok dan menjadi perokok pasif. Setiap tahun ada 4 juta orang yang meninggal akibat kebiasaan merokok, sekitar 70 persen di antaranya terjadi di negara-negara maju. Kerugian ekonomi akibat rokok setahunnya adalah tidak kurang dari 200 miliar dollar Amerika. Kalau tidak ada penanganan memadai, maka di tahun 2030 akan ada 1,6 miliar perokok (15 persen di antaranya tinggal di negara-negara maju), 10 juta kematian (70 persen di antaranya terjadi di negara berkembang) dan sekitar 770 juta anak yang menjadi perokok pasif dalam setahunnya. Dua puluh sampai 25 persen kematian di tahun itu dapat terjadi akibat rokok.

Setiap hari lebih dari 15 miliar batang rokok dihisap di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke-5 dalam konsumsi merokok di dunia. Data terakhir yang dipublikasi WHO tahun 2002 menyebutkan bahwa Indonesia setiap tahunnya mengonsumsi 215 miliar batang rokok, nomor 5 di dunia setelah Cina (1.643 miliar batang), Amerika Serikat (451 miliar batang), Jepang (328 miliar batang), dan Rusia (258 miliar batang). Sekitar 20 persen pelajar SLTP di Jakarta adalah perokok.

Hubungan rokok & TB

Hasil penelitian ternyata menghubungkan kebiasaan merokok dengan terjadinya serta proses perjalanan penyakit tuberkulosis paru. Penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara prevalensi reaktifitas tes tuberkulin (tes untuk mengetahui seseorang terinfeksi TB) dan kebiasaan merokok. Mereka yang merokok 3-4 kali lebih sering positif tesnya, artinya 3-4 kali lebih sering terinfeksi TB daripada yang tidak merokok. Penelitian lain menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberkulosis, serta faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru pada dewasa muda, dan terdapat dose-response relationship dengan jumlah rokok yang dihisap per harinya. Penelitian lain menemukan bahwa anak yang terpapar asap rokok (perokok pasif) ternyata juga lebih sering mendapat TB nantinya.

Juga ditemukan bahwa TB pada perokok lebih menular daripada penderita TB yang tidak merokok, kebiasaan merokok juga merupakan faktor dalam progresivitas tuberkulosis paru dan terjadinya fibrosis. Secara umum, perokok ternyata lebih sering mendapat TB dan kebiasaan merokok memegang peran penting sebagai faktor penyebab kematian pada TB. Kebiasaan merokok membuat seseorang jadi lebih mudah terinfeksi tuberkulosis, dan angka kematian akibat TB akan lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Di India tuberkulosis adalah salah satu penyebab utama kematian para perokok. Sekitar 20 persen kematian akibat tuberkulosis di India berhubungan dengan kebiasaan merokok mereka. Kita belum punya angka serupa untuk Indonesia, tetapi diperkirakan masalahnya tentu juga akan besar pula.

Mengapa merokok memperburuk tuberkulosis? Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah "membuang" infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan napas (airway resistance) dan menyebabkan "mudah bocornya" pembuluh darah di paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat me-"makan" bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan. Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan produksi antiprotease sehingga merugikan tubuh kita.

Pemeriksaan canggih seperti gas chromatography dan mikroskop elektron lebih menjelaskan hal ini dengan menunjukkan adanya berbagai kerusakan tubuh di tingkat bio molekuler akibat rokok.

Program bersama

Kebiasaan merokok meningkatkan angka kematian akibat TB sebesar 2,8 kali. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan peran merokok untuk meningkatkan kematian akibat penyakit jantung iskemik (1,6 kali) dan penyakit serebrovaskuler/stroke (1,5 kali), walaupun memang jauh lebih rendah dari perannya mengakibatkan kematian akibat kanker paru yang 15 kali lebih sering pada perokok dibandingkan bukan perokok. Untuk Indonesia perlu dilakukan penelitian lebih lanjut antara kebiasaan merokok-khususnya kretek-dan tuberkulosis ini.

Sementara itu, perlu adanya program penanggulangan bersama antara TB dan rokok. Saat ini kita telah punya program penanggulangan TB paru yang secara umum ditangani pemerintah dengan dibantu masyarakat. Program ini telah lama dilaksanakan, telah lebih tertata, kendati sampai saat ini belum mampu juga menurunkan jumlah kasus TB secara berarti. Di pihak lain, program penanggulangan rokok bahkan tampaknya belum tertata jelas di negara kita. Seyogianya kedua program ini dapat saling memperkuat satu dengan lainnya. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dapat lebih dijamin, mengingat asap rokok masuk tubuh melalui paru dan TB juga sebagian besar ada di paru. Penderita TB harus diminta untuk segera berhenti merokok.

Para perokok juga harus diminta segera berhenti merokok agar mereka tidak jatuh sakit-kebiasaan merokok berhubungan dengan 25 penyakit-termasuk mendapat TB. Kalau saja kita hanya berpangku tangan maka adanya hubungan saling memperkuat antara kebiasaan merokok dan tuberkulosis akan merusak derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Tjandra Yoga Aditama, Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan, Jakarta



Artikel





Bayi Usia Dua Tahun Paling Rawan

ABAD keemasan rupanya belum diraih oleh Indonesia terutama dalam soal pergizian. Berdasarkan data statistik kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun 2005 dari 241.973.879 penduduk Indonesia, enam persen atau sekira 14,5 juta orang menderita gizi buruk. Penderita gizi buruk pada umumnya anak-anak di bawah usia lima tahun (balita).

KARTINI (3 bulan) yang menderita gizi buruk tergolek lemah di bagian isolasi Ruang Anggrek Rumah Sakit Ciereng Subang, Februari lalu. Kartini hanya memiliki berat badan 2 kg.*TAUFIK ILYAS/"PR"

Depkes juga telah melakukan pemetaan dan hasilnya menunjukkan bahwa penderita gizi kurang ditemukan di 72% kabupaten di Indonesia. Indikasinya 2-4 dari 10 balita menderita gizi kurang.

Gizi buruk merupakan salah satu dari tiga tingkatan status gizi selain gizi lebih dan gizi baik. Ketiganya dapat dengan mudah ditemukan di pelosok negeri ini.

Status gizi antara lain dapat dilihat berdasarkan penimbangan rutin di posyandu dan puskesmas. Yang patut diwaspadai adalah jika berat badan bayi atau balita berada di bawah garis merah pada Kartu Menuju Sehat (KMS).

Jika kondisi tersebut berlangsung hingga tiga bulan berturut-turut maka harus segera dicari penyebabnya apakah terjadi penyakit atau ada hal lain yang menyebabkan nafsu makannya berkurang.

Berat badan yang stagnan bila dibandingkan terhadap tinggi badan dan usia dapat menjadi pintu masuk untuk mendeteksi status gizi anak. Penanganan yang tidak paripurna pada kondisi ini dapat menyebabkan anak mengalami penyakit gizi.

Penyakit gizi lebih merupakan gizi salah yang berdasarkan pada kelebihan dalam makanan. Umumnya terjadi obesitas atau kegemukan yang antara lain akan berkembang menjadi diabetes melitus, jantung koroner, dan penyakit imunitas.

Sementara gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari. Secara klinis gizi buruk terdapat dalam tiga tipe yakni kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor.

Kwashiorkor merupakan istilah untuk menggambarkan kekurangan protein kronis pada anak-anak. Indikasi kwashiorkor pertama kali dikemukakan tahun 1933 oleh seorang dokter anak CD Williams yang bekerja di Pantai Gading Afrika.

Pada umumnya kwashiorkor menyerang bayi dan balita pada rentang usia enam bulan sampai tiga tahun. Usia paling rawan terkena defisiensi ini adalah dua tahun karena pada kurun waktu itu berlangsung masa peralihan dari ASI ke pengganti ASI atau makanan sapihan. Pengganti ASI maupun makanan sapihan seringkali memiliki kandungan karbohidrat tinggi tetapi mutu dan kandungan proteinnya sangat rendah.

Anak-anak yang mengalami kwasiorkor memiliki tanda-tanda edema (pembengkakan) di seluruh tubuh terutama pada punggung kaki; wajah membulat dan sembab; pandangan mata sayu; terjadi perubahan status mental menjadi cengeng, rewel dan kadang apatis.

Gejala lainnya adalah rambut pirang, kusam, dan mudah dicabut; otot-otot mengecil, gangguan kulit berupa bercak merah cokelat yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas; anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia); sering disertai infeksi, anemia dan diare.

Marasmus

Marasmus merupakan keadaan di mana seorang anak mengalami defisiensi energi dan protein sekaligus. Umumnya kondisi ini dialami masyarakat yang menderita kelaparan.

Marasmus umumnya diderita oleh bayi dengan tanda-tanda tubuh sangat kurus, wajah seperti orang tua, kulit keriput, pantat rata, terlihat lipatan-lipatan kulit pada daerah sekitar pantat, perut buncit, iga nampak jelas, juga disertai pucat karena anemia.

Penderita marasmus juga sering mengalami diare atau susah buang air besar, dehidrasi, banyak kekurangan air tubuh dan gejala kekurangan vitamin A dalam mineral.

Marasmus adalah permasalahan serius yang terjadi di negara-negara berkembang. Menurut data WHO sekira 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun di negara berkembang berkaitan dengan defisiensi energi dan protein sekaligus.

Malnutrisi telah menjadi prioritas utama WHO selama bertahun-tahun. Kekurangan energi dan protein tidak hanya terjadi di negara-negara berpendapatan rendah tapi juga mereka yang berpenghasilan lebih tinggi.

Selain itu marasmus juga umum terjadi pada anak-anak miskin perkotaan, anak-anak dengan penyakit kronis dan anak-anak di penjara. Tingginya jumlah penderita marrasmus tak hanya menimbulkan risiko kematian tapi juga menyebabkan syaraf otak tidak berkembang optimal. Akhirnya, dampak sosial dan ekonomi akibat kekurangan energi dan protein amat besar dan sulit diperhitungkan.

Selanjutnya adalah marasmus kwashiorkor yang memiliki gejala mirip dengan marasmus tetapi disertai adanya edema, menurunnya kadar protein (albumin) dalam darah, kulit mengering dan kusam serta otot menjadi lemah.

Kian banyaknya temuan kasus kwashiorkor, marramus dan marasmus kwashiorkor menunjukkan bahwa persoalan gizi di Indonesia belum dapat menorehkan tinta emas. Revitalisasi posyandu dan sosialisasi akan kesadaran gizi masyarakat tampaknya perlu terus digaungkan agar penapisan terhadap status gizi dapat berlangsung lebih dini. (Wilda Nurlianti/”PR”)***

Artikel "Hubungan Otak Kosong dengan Gizi Buruk


Hubungan ”Otak Kosong” dengan Gizi Buruk INDONESIA harus menelan ”pil pahit” karena hanya sebagian kecil dari penduduknya yang kebutuhan gizinya tercukupi. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 saja ada lebih dari empat juta penderita gizi buruk adalah anak-anak di bawah usia dua tahun. Padahal menurut ahli gizi, 80 persen proses pembentukan otak berlangsung pada
usia 0-2 tahun.
Ada sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Itu data yang dihimpun Susenas empat tahun lalu. Bukan tidak mungkin saat ini jumlahnya meningkat tajam karena krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan masalah pangan yang sulit didapat. Bahkan menurut United Nations Children’s Fund (Unicef) saat ini ada sekitar 40 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun (balita) menderita gizi buruk.
Menurut ahli gizi Ir. Tatang S. MSc, seorang anak yang pada usia balita kekurangan gizi akan mempunyai Intellegent Quotient (IQ) lebih rendah 13-15 poin dari anak lain pada saat memasuki sekolah.
Hal itu dibenarkan oleh Dr. Soesilawati dari Rumah Sakit Mitra yang berpendapat bahwa perkembangan otak anak usia balita sangat ditentukan oleh faktor makanan yang dikonsumsi. ”Zat gizi seperti protein, zat besi, berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega 3 adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat-zat itu bisa didapat dari makanan sehari-hari seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya. Singkatnya, pola makan seorang anak haruslah bervariasi, tidak hanya satu atau dua jenis saja,” ujar Soesilowati menjelaskan.

Gizi Pendukung Otak
Asam lemak esensial omega 3 merupakan zat yang berperan vital dalam proses pertumbuhan sel-sel neuron otak untuk bekal bayi yang dilahirkan. Ibu hamil masa kini dapat mengonsumsinya melalui banyaknya produk susu khusus ibu hamil. Asam alfa linoleat (LNA), eikosapentaetonat (EPA) serta dohosaheksaenoat (DHA) adalah tiga bentuk asam omega 3 yang telah masuk dalam proses elongate (dipanjangkan) dan desaturate (diubah menjadi tidak jenuh).
”Produk-produk susu yang mengklaim dirinya mengandung DHA atau omega 3 perlu diuji dulu secara klinis untuk membuktikan kebenarannya. Mungkin memang produk itu mengandung zat yang disebut tapi tentu hanya dalam jumlah kecil saja,” komentar Tatang. Ia menganjurkan agar baik anak-anak maupun ibu hamil lebih banyak mengonsumsi sumber-sumber alami dari semua gizi yang dibutuhkan tubuh. Asam lemak omega 3 banyak terdapat dalam ikan atau minyak ikan. Begitu juga protein yang terdapat pada kacang-kacangan, telur, dan ikan.
Sementara zat besi tidak kalah penting dalam menunjang kerja otak. Kekurangan zat besi bisa mengurangi produksi sel darah merah. Remaja perempuan yang kurang mengonsumsi zat besi cenderung mempunyai IQ rendah, demikian hasil riset terbaru yang dilakukan oleh peneliti dari King’s College, London. Ada hubungan signifikan antara rendahnya level hemoglobin dengan performance mental seseorang.
Hemoglobin adalah protein yang terdapat dalam sel darah merah yang memainkan peran penting dalam transportasi oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Maka zat besi menjadi komponen esensial bagi hemoglobin. Tanpa mendapat tambahan zat besi maka tubuh kita tidak mampu menghasilkan jumlah sel darah merah yang cukup.
Inilah mengapa perempuan hamil dan perempuan pekerja membutuhkan asupan zat besi. Perempuan hamil memerlukannya dua kali lebih banyak dari saat dirinya tidak hamil. Sedangkan perempuan pekerja membutuhkan tambahan zat besi karena di samping melakukan kegiatan sehari-hari yang lumayan keras, ada masa menstruasi yang menyebabkan mereka terancam anemia.
Riset yang dilakukan Dr. Michael Nelson dari Inggris membuktikan bahwa perempuan pekerja yang menderita anemia mempunyai poin IQ lebih rendah daripada yang tidak menderita anemia.
”Untuk mendapatkan zat besi secara alamiah bisa dengan cara memakan sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan dan ikan. Jika memang mampu akan lebih baik didukung dengan asupan zat besi yang sudah banyak dijual bebas,” ujar Soesilowati.
Sementara Dr. Nelson menjelaskan bahwa korelasi antara zat besi dengan kecerdasan sangat sederhana. Kurangnya zat besi akan mengurangi jumlah hemoglobin. Otomatis hal ini membuat suplai oksigen terhambat ke otak dan membuat otak tidak bisa bekerja secara optimal. Bagaimanapun juga jumlah enzim yang mengatur sinyal transmisi ke otak juga bergantung pada zat besi. ”Penyerapan zat besi akan lebih efektif jika kita juga mengonsumsi vitamin C dalam jumlah cukup,” ujar Soesilowati.

Asupan Gizi
Banyaknya produk suplemen vitamin yang kini beredar secara bebas bisa berdampak baik sekaligus berdampak buruk. Menurut Tatang, suatu produk suplemen harus menjalani uji klinis dulu sebelum dipasarkan. Ia menegaskan agar kita tidak terlena begitu saja dengan rayuan iklan yang terlalu bombastis.
Tapi di sisi lain produk suplemen yang memang bisa dipercaya kebenarannya sangat berguna bagi kebanyakan orang yang tidak sempat mendapatkan gizi tersebut dari makanan sehari-hari.
”Lebih baik kalau berbagai kebutuhan gizi didapat dari makanan langsung, bukan asupan atau suplemen yang dijual bebas. Sebab tak seorang pun yang bisa menjamin keamanannya,” tambah Soesilawati. ”Kecuali kalau asupan itu memang dianjurkan oleh dokter atau didapat dari dokter.”
Sedangkan anak usia 0-2 tahun sebaiknya mendapatkan Air Susu Ibu (ASI). Seperti yang dikatakan Tatang bahwa ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan dalam perkembangan otak anak.
Banyak produk susu kaleng atau susu formula yang dalam iklan disebutkan mengandung asam linoleat, DHA dan sebagainya. Namun sampai detik ini tidak ada bukti yang bisa berkata bahwa susu formula mampu menyamai khasiat ASI.(mer)

Jumat, 14 Desember 2007

Artikel

Seputar Indonesia : Masalah Obesitas Bayangi ODHA



ORANG dengan HIV /AIDS (ODHA) selama ini identik dengan tubuh yang kurus. Ternyata, obesitas juga ditemui pada kelompok HIV.
Pada mulanya, orang yang telah terinfeksi virus HIV mengalami penurunan berat badan secara signifikan. Bahkan, seiring perjalanan waktu dan infeksi virus yang makin menyebar, tubuh akan makin kurus dan pucat.
Namun, pemandangan berbeda terjadi di negeri Paman Sam. Di Amerika,beberapa orang yang telah terinfeksi virus HIV, belum sepenuhnya mengalami AIDS, mempunyai masalah obesitas. Melengkapi ”sindroma kurus”sebagai permasalahan yang lebih mendapat perhatian.
Peneliti menemukan bahwa lingkar pinggang,mereka yang telah terinfeksi virus HIV semakin lama semakin lebar bersamaan dengan peningkatan rata-rata kenaikan berat badan orang Amerika. Bahkan, suatu penelitian terbaru menunjukkan, hampir dua pertiga penderita HIV mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Akibatnya, risiko diabetes, tekanan darah tinggi, serta kolesterol ikut meningkat.
”Kami mengusahakan mereka untuk menurunkan berat badan dan menjadi kurus. Kami juga menganjurkan mereka untuk menjaga kesehatan dengan menjaga kestabilan berat badan,” kata ketua peneliti Dr Nancy Crum-Cianflone of Tri- Service AIDS Clinical Consortium di San Diego.
Jutaan penduduk Amerika yang telah terinfeksi HIV/AIDS disertai ’sindrom’ untuk menguruskan berat badan. Sebanyak 10% mengalami penurunan berat badan yang tidak terkontrol disertai beberapa gejala yang lain seperti demam atau diare. Kondisi yang berbeda,penderita justru mengalami obesitas, disinyalir akibat efek dari obatobatan yang mengakibatkan kenaikan berat badan.
Kekuatan dari obat tersebut mampu untuk ”menjaga” virus dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Hasilnya, lebih banyak pasien HIV hidup lebih lama dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi virus yang sama dua dekade lalu. Di samping itu, ada kecenderungan mereka mempunyai kebiasaan makan dan sedikit berolahraga.
Beberapa ahli menjelaskan kondisi psikologis mereka. Seperti sebuah tanda, mereka yang telah terinfeksi HIV mengalami penurunan berat badan. Kemungkinan beberapa pasien menggunakan pil untuk menjaga berat badan agar tampak normal. ”Ini sangat jelas bahwa virus HIV menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian khusus, tidak bisa lagi diabaikan,” kata epidemiologist di AIDS prevention at the Centers for Disease Control and Prevention Dr John T Brooks.
Namun, Brooks tidak ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Sementara itu, Crum-Cianflone menjadi sangat tertarik untuk memperhatikan masalah ini karena banyak pasien mereka yang mengalami kelebihan berat badan. Untuk itu, dia dan tim melakukan penelitian untuk mengetahui sebera- pa banyak ODHA yang mengalami obesitas.
Dia dan rekannya melihat catatan kesehatan 663 pasien yang telah terinfeksi HIV di rumah sakit Navy di San Diego dan Bethesda. Peneliti menganalisis catatan kesehatan tersebut, lamanya waktu mereka telah terinfeksi HIV serta pasien yang mempunyai masalah kesehatan diabetes atau tekanan darah tinggi.
Dalam penelitian ini ditemukan, sebanyak 63% mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Hanya sekitar 3% yang mempunyai berat badan di bawah normal dan selebihnya tidak tercatat.Yang paling menyedihkan, sebanyak 30% pasien AIDS mengalami kelebihan berat badan.
Secara umum, penemuan angka ini semakin mengejutkan karena penelitian diketahui pertama kali dari pihak militer. Dan tragisnya, mereka yang mengalami adalah pasangan atau istri dari anggota militer tersebut. Penelitian sebelumnya, sekitar 40% pasien HIV mengalami obesitas.

Artikel