Bayi Usia Dua Tahun Paling Rawan
ABAD keemasan rupanya belum diraih oleh Indonesia terutama dalam soal pergizian. Berdasarkan data statistik kesehatan Departemen Kesehatan RI tahun 2005 dari 241.973.879 penduduk Indonesia, enam persen atau sekira 14,5 juta orang menderita gizi buruk. Penderita gizi buruk pada umumnya anak-anak di bawah usia lima tahun (balita).
KARTINI (3 bulan) yang menderita gizi buruk tergolek lemah di bagian isolasi Ruang Anggrek Rumah Sakit Ciereng Subang, Februari lalu. Kartini hanya memiliki berat badan 2 kg.*TAUFIK ILYAS/"PR" |
Depkes juga telah melakukan pemetaan dan hasilnya menunjukkan bahwa penderita gizi kurang ditemukan di 72% kabupaten di Indonesia. Indikasinya 2-4 dari 10 balita menderita gizi kurang.
Gizi buruk merupakan salah satu dari tiga tingkatan status gizi selain gizi lebih dan gizi baik. Ketiganya dapat dengan mudah ditemukan di pelosok negeri ini.
Status gizi antara lain dapat dilihat berdasarkan penimbangan rutin di posyandu dan puskesmas. Yang patut diwaspadai adalah jika berat badan bayi atau balita berada di bawah garis merah pada Kartu Menuju Sehat (KMS).
Jika kondisi tersebut berlangsung hingga tiga bulan berturut-turut maka harus segera dicari penyebabnya apakah terjadi penyakit atau ada hal lain yang menyebabkan nafsu makannya berkurang.
Berat badan yang stagnan bila dibandingkan terhadap tinggi badan dan usia dapat menjadi pintu masuk untuk mendeteksi status gizi anak. Penanganan yang tidak paripurna pada kondisi ini dapat menyebabkan anak mengalami penyakit gizi.
Penyakit gizi lebih merupakan gizi salah yang berdasarkan pada kelebihan dalam makanan. Umumnya terjadi obesitas atau kegemukan yang antara lain akan berkembang menjadi diabetes melitus, jantung koroner, dan penyakit imunitas.
Sementara gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari. Secara klinis gizi buruk terdapat dalam tiga tipe yakni kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkor.
Kwashiorkor merupakan istilah untuk menggambarkan kekurangan protein kronis pada anak-anak. Indikasi kwashiorkor pertama kali dikemukakan tahun 1933 oleh seorang dokter anak CD Williams yang bekerja di Pantai Gading Afrika.
Pada umumnya kwashiorkor menyerang bayi dan balita pada rentang usia enam bulan sampai tiga tahun. Usia paling rawan terkena defisiensi ini adalah dua tahun karena pada kurun waktu itu berlangsung masa peralihan dari ASI ke pengganti ASI atau makanan sapihan. Pengganti ASI maupun makanan sapihan seringkali memiliki kandungan karbohidrat tinggi tetapi mutu dan kandungan proteinnya sangat rendah.
Anak-anak yang mengalami kwasiorkor memiliki tanda-tanda edema (pembengkakan) di seluruh tubuh terutama pada punggung kaki; wajah membulat dan sembab; pandangan mata sayu; terjadi perubahan status mental menjadi cengeng, rewel dan kadang apatis.
Gejala lainnya adalah rambut pirang, kusam, dan mudah dicabut; otot-otot mengecil, gangguan kulit berupa bercak merah cokelat yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas; anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia); sering disertai infeksi, anemia dan diare.
Marasmus
Marasmus merupakan keadaan di mana seorang anak mengalami defisiensi energi dan protein sekaligus. Umumnya kondisi ini dialami masyarakat yang menderita kelaparan.
Marasmus umumnya diderita oleh bayi dengan tanda-tanda tubuh sangat kurus, wajah seperti orang tua, kulit keriput, pantat rata, terlihat lipatan-lipatan kulit pada daerah sekitar pantat, perut buncit, iga nampak jelas, juga disertai pucat karena anemia.
Penderita marasmus juga sering mengalami diare atau susah buang air besar, dehidrasi, banyak kekurangan air tubuh dan gejala kekurangan vitamin A dalam mineral.
Marasmus adalah permasalahan serius yang terjadi di negara-negara berkembang. Menurut data WHO sekira 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun di negara berkembang berkaitan dengan defisiensi energi dan protein sekaligus.
Malnutrisi telah menjadi prioritas utama WHO selama bertahun-tahun. Kekurangan energi dan protein tidak hanya terjadi di negara-negara berpendapatan rendah tapi juga mereka yang berpenghasilan lebih tinggi.
Selain itu marasmus juga umum terjadi pada anak-anak miskin perkotaan, anak-anak dengan penyakit kronis dan anak-anak di penjara. Tingginya jumlah penderita marrasmus tak hanya menimbulkan risiko kematian tapi juga menyebabkan syaraf otak tidak berkembang optimal. Akhirnya, dampak sosial dan ekonomi akibat kekurangan energi dan protein amat besar dan sulit diperhitungkan.
Selanjutnya adalah marasmus kwashiorkor yang memiliki gejala mirip dengan marasmus tetapi disertai adanya edema, menurunnya kadar protein (albumin) dalam darah, kulit mengering dan kusam serta otot menjadi lemah.
Kian banyaknya temuan kasus kwashiorkor, marramus dan marasmus kwashiorkor menunjukkan bahwa persoalan gizi di Indonesia belum dapat menorehkan tinta emas. Revitalisasi posyandu dan sosialisasi akan kesadaran gizi masyarakat tampaknya perlu terus digaungkan agar penapisan terhadap status gizi dapat berlangsung lebih dini. (Wilda Nurlianti/”PR”)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar