Sabtu, 15 Desember 2007
Artikel "Hubungan Otak Kosong dengan Gizi Buruk
Hubungan ”Otak Kosong” dengan Gizi Buruk INDONESIA harus menelan ”pil pahit” karena hanya sebagian kecil dari penduduknya yang kebutuhan gizinya tercukupi. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 saja ada lebih dari empat juta penderita gizi buruk adalah anak-anak di bawah usia dua tahun. Padahal menurut ahli gizi, 80 persen proses pembentukan otak berlangsung pada
usia 0-2 tahun.
Ada sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Itu data yang dihimpun Susenas empat tahun lalu. Bukan tidak mungkin saat ini jumlahnya meningkat tajam karena krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan masalah pangan yang sulit didapat. Bahkan menurut United Nations Children’s Fund (Unicef) saat ini ada sekitar 40 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun (balita) menderita gizi buruk.
Menurut ahli gizi Ir. Tatang S. MSc, seorang anak yang pada usia balita kekurangan gizi akan mempunyai Intellegent Quotient (IQ) lebih rendah 13-15 poin dari anak lain pada saat memasuki sekolah.
Hal itu dibenarkan oleh Dr. Soesilawati dari Rumah Sakit Mitra yang berpendapat bahwa perkembangan otak anak usia balita sangat ditentukan oleh faktor makanan yang dikonsumsi. ”Zat gizi seperti protein, zat besi, berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega 3 adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat-zat itu bisa didapat dari makanan sehari-hari seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya. Singkatnya, pola makan seorang anak haruslah bervariasi, tidak hanya satu atau dua jenis saja,” ujar Soesilowati menjelaskan.
Gizi Pendukung Otak
Asam lemak esensial omega 3 merupakan zat yang berperan vital dalam proses pertumbuhan sel-sel neuron otak untuk bekal bayi yang dilahirkan. Ibu hamil masa kini dapat mengonsumsinya melalui banyaknya produk susu khusus ibu hamil. Asam alfa linoleat (LNA), eikosapentaetonat (EPA) serta dohosaheksaenoat (DHA) adalah tiga bentuk asam omega 3 yang telah masuk dalam proses elongate (dipanjangkan) dan desaturate (diubah menjadi tidak jenuh).
”Produk-produk susu yang mengklaim dirinya mengandung DHA atau omega 3 perlu diuji dulu secara klinis untuk membuktikan kebenarannya. Mungkin memang produk itu mengandung zat yang disebut tapi tentu hanya dalam jumlah kecil saja,” komentar Tatang. Ia menganjurkan agar baik anak-anak maupun ibu hamil lebih banyak mengonsumsi sumber-sumber alami dari semua gizi yang dibutuhkan tubuh. Asam lemak omega 3 banyak terdapat dalam ikan atau minyak ikan. Begitu juga protein yang terdapat pada kacang-kacangan, telur, dan ikan.
Sementara zat besi tidak kalah penting dalam menunjang kerja otak. Kekurangan zat besi bisa mengurangi produksi sel darah merah. Remaja perempuan yang kurang mengonsumsi zat besi cenderung mempunyai IQ rendah, demikian hasil riset terbaru yang dilakukan oleh peneliti dari King’s College, London. Ada hubungan signifikan antara rendahnya level hemoglobin dengan performance mental seseorang.
Hemoglobin adalah protein yang terdapat dalam sel darah merah yang memainkan peran penting dalam transportasi oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Maka zat besi menjadi komponen esensial bagi hemoglobin. Tanpa mendapat tambahan zat besi maka tubuh kita tidak mampu menghasilkan jumlah sel darah merah yang cukup.
Inilah mengapa perempuan hamil dan perempuan pekerja membutuhkan asupan zat besi. Perempuan hamil memerlukannya dua kali lebih banyak dari saat dirinya tidak hamil. Sedangkan perempuan pekerja membutuhkan tambahan zat besi karena di samping melakukan kegiatan sehari-hari yang lumayan keras, ada masa menstruasi yang menyebabkan mereka terancam anemia.
Riset yang dilakukan Dr. Michael Nelson dari Inggris membuktikan bahwa perempuan pekerja yang menderita anemia mempunyai poin IQ lebih rendah daripada yang tidak menderita anemia.
”Untuk mendapatkan zat besi secara alamiah bisa dengan cara memakan sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan dan ikan. Jika memang mampu akan lebih baik didukung dengan asupan zat besi yang sudah banyak dijual bebas,” ujar Soesilowati.
Sementara Dr. Nelson menjelaskan bahwa korelasi antara zat besi dengan kecerdasan sangat sederhana. Kurangnya zat besi akan mengurangi jumlah hemoglobin. Otomatis hal ini membuat suplai oksigen terhambat ke otak dan membuat otak tidak bisa bekerja secara optimal. Bagaimanapun juga jumlah enzim yang mengatur sinyal transmisi ke otak juga bergantung pada zat besi. ”Penyerapan zat besi akan lebih efektif jika kita juga mengonsumsi vitamin C dalam jumlah cukup,” ujar Soesilowati.
Asupan Gizi
Banyaknya produk suplemen vitamin yang kini beredar secara bebas bisa berdampak baik sekaligus berdampak buruk. Menurut Tatang, suatu produk suplemen harus menjalani uji klinis dulu sebelum dipasarkan. Ia menegaskan agar kita tidak terlena begitu saja dengan rayuan iklan yang terlalu bombastis.
Tapi di sisi lain produk suplemen yang memang bisa dipercaya kebenarannya sangat berguna bagi kebanyakan orang yang tidak sempat mendapatkan gizi tersebut dari makanan sehari-hari.
”Lebih baik kalau berbagai kebutuhan gizi didapat dari makanan langsung, bukan asupan atau suplemen yang dijual bebas. Sebab tak seorang pun yang bisa menjamin keamanannya,” tambah Soesilawati. ”Kecuali kalau asupan itu memang dianjurkan oleh dokter atau didapat dari dokter.”
Sedangkan anak usia 0-2 tahun sebaiknya mendapatkan Air Susu Ibu (ASI). Seperti yang dikatakan Tatang bahwa ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan dalam perkembangan otak anak.
Banyak produk susu kaleng atau susu formula yang dalam iklan disebutkan mengandung asam linoleat, DHA dan sebagainya. Namun sampai detik ini tidak ada bukti yang bisa berkata bahwa susu formula mampu menyamai khasiat ASI.(mer)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar