Sabtu, 15 Desember 2007

Artikel "Rokok dan Tuberkulosis"


Rokok dan Tuberkulosis Paru

* Tjandra Yoga Aditama

TUBERKULOSIS (TB) dan kebiasaan merokok merupakan dua masalah besar dunia, dan keduanya merupakan agenda penting WHO dewasa ini. Keduanya juga merupakan semacam paduan dari gambaran penyakit menular penting (tuberkulosis paru) serta kebiasaan merokok yang banyak berhubungan dengan kejadian penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, asma, dan kanker paru. Yang kemudian jadi menarik karena ternyata ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan penyakit infeksi, dalam hal ini tuberkulosis paru. Hal ini jadi amat penting khususnya bagi Indonesia yang merupakan penyumbang kasus TB ketiga terbanyak di dunia dan juga memiliki jumlah perokok nomor lima paling besar di dunia, dua "prestasi" yang tidak perlu kita banggakan!

Tuberkulosis

Dewasa ini sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis. Setiap tahun ada sekitar 8 juta penderita baru TB dan hampir 3 juta orang yang meninggal di seluruh dunia akibat penyakit ini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi TB setiap detik dan setiap 10 detik akan ada satu orang yang mati akibat TB di dunia. TB membunuh hampir dari satu juta wanita setahunnya, lebih tinggi dari kematian wanita akibat proses kehamilan dan persalinan dan TB membunuh 100.000 anak setiap tahunnya.

Khusus untuk Indonesia, data WHO baru-baru ini menunjukkan bahwa negara kita adalah penyumbang kasus terbesar ke tiga di dunia, setelah India dan Cina. Setiap tahunnya jumlah penderita baru TB menular adalah 262.000 orang dan jumlah seluruh penderita baru adalah 583.000 orang per tahunnya. Diperkirakan, sekitar 140.000 orang Indonesia yang meninggal setiap tahunnya akibat tuberkulosis ini.

Sampai hari ini belum ada satu negara pun di dunia yang telah bebas TB. Bahkan untuk negara maju, yang pada mulanya angka tuberkulosis telah menurun, tetapi belakangan angka ini naik lagi sehingga TB disebut sebagai salah satu reemerging disease. Untuk Indonesia TB bukanlah reemerging diseases. Penyakit ini belum pernah menurun jumlahnya di negara kita dan bukan tidak mungkin bahkan meningkat.

WHO menyatakan bahwa bila situasi penanggulangan TB tetap seperti sekarang ini maka jumlah kasus TB di dunia tahun 2020 akan meningkat menjadi 11 juta jiwa, artinya 200 juta kasus TB dalam dua dekade pertama abad 21 ini. Jumlah kasus TB akan terus meningkat, dari 8,8 juta kasus di tahun ini 1995 menjadi 10,2 juta kasus di tahun 2000 dan 11,9 juta kasus TB baru di tahun 2005.

Rokok

Pada tahun 600 sebelum Masehi, tanaman tembakau mulai ditanam di Amerika Serikat, dan pada tahun 1 penduduk Amerika mulai merokok. Sementara itu, di tahun 600, seorang filosof Cina bernama Fang Yizhi mulai menyebutkan bahwa kebiasaan merokok dalam jangka lama akan dapat merusak paru. Tahun 1729 tercatat sebagai tahun pertama ada aturan tertulis larangan merokok, yaitu di tempat-tempat ibadah di negara Bhutan. Pada tahun 1761 dilakukan studi pertama tentang dampak merokok yang dilakukan oleh John Hill. Di tahun 1950 diterbitkan 2 publikasi utama tentang hasil penelitian dampak merokok bagi kesehatan dan di tahun 1981 dilakukan penelitian besar tentang dampak merokok pasif oleh Hirayama di Jepang.

Sejarah panjang kebiasaan merokok di atas ternyata terus berlanjut. Dewasa ini di seluruh dunia diperkirakan terdapat 1,26 miliar perokok, lebih dari 200 juta di antaranya adalah wanita. Data WHO menyebutkan, di negara berkembang jumlah perokoknya 800 juta orang, hampir tiga kali lipat negara maju. Konsumsi rokok per kapitanya mencapai 1370 batang per tahun, dengan kenaikan 12 persen hingga tahun 2000. Setiap tahun tidak kurang dari 700 juta anak-anak terpapar asap rokok dan menjadi perokok pasif. Setiap tahun ada 4 juta orang yang meninggal akibat kebiasaan merokok, sekitar 70 persen di antaranya terjadi di negara-negara maju. Kerugian ekonomi akibat rokok setahunnya adalah tidak kurang dari 200 miliar dollar Amerika. Kalau tidak ada penanganan memadai, maka di tahun 2030 akan ada 1,6 miliar perokok (15 persen di antaranya tinggal di negara-negara maju), 10 juta kematian (70 persen di antaranya terjadi di negara berkembang) dan sekitar 770 juta anak yang menjadi perokok pasif dalam setahunnya. Dua puluh sampai 25 persen kematian di tahun itu dapat terjadi akibat rokok.

Setiap hari lebih dari 15 miliar batang rokok dihisap di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke-5 dalam konsumsi merokok di dunia. Data terakhir yang dipublikasi WHO tahun 2002 menyebutkan bahwa Indonesia setiap tahunnya mengonsumsi 215 miliar batang rokok, nomor 5 di dunia setelah Cina (1.643 miliar batang), Amerika Serikat (451 miliar batang), Jepang (328 miliar batang), dan Rusia (258 miliar batang). Sekitar 20 persen pelajar SLTP di Jakarta adalah perokok.

Hubungan rokok & TB

Hasil penelitian ternyata menghubungkan kebiasaan merokok dengan terjadinya serta proses perjalanan penyakit tuberkulosis paru. Penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara prevalensi reaktifitas tes tuberkulin (tes untuk mengetahui seseorang terinfeksi TB) dan kebiasaan merokok. Mereka yang merokok 3-4 kali lebih sering positif tesnya, artinya 3-4 kali lebih sering terinfeksi TB daripada yang tidak merokok. Penelitian lain menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberkulosis, serta faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru pada dewasa muda, dan terdapat dose-response relationship dengan jumlah rokok yang dihisap per harinya. Penelitian lain menemukan bahwa anak yang terpapar asap rokok (perokok pasif) ternyata juga lebih sering mendapat TB nantinya.

Juga ditemukan bahwa TB pada perokok lebih menular daripada penderita TB yang tidak merokok, kebiasaan merokok juga merupakan faktor dalam progresivitas tuberkulosis paru dan terjadinya fibrosis. Secara umum, perokok ternyata lebih sering mendapat TB dan kebiasaan merokok memegang peran penting sebagai faktor penyebab kematian pada TB. Kebiasaan merokok membuat seseorang jadi lebih mudah terinfeksi tuberkulosis, dan angka kematian akibat TB akan lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Di India tuberkulosis adalah salah satu penyebab utama kematian para perokok. Sekitar 20 persen kematian akibat tuberkulosis di India berhubungan dengan kebiasaan merokok mereka. Kita belum punya angka serupa untuk Indonesia, tetapi diperkirakan masalahnya tentu juga akan besar pula.

Mengapa merokok memperburuk tuberkulosis? Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah "membuang" infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan napas (airway resistance) dan menyebabkan "mudah bocornya" pembuluh darah di paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat me-"makan" bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan. Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan produksi antiprotease sehingga merugikan tubuh kita.

Pemeriksaan canggih seperti gas chromatography dan mikroskop elektron lebih menjelaskan hal ini dengan menunjukkan adanya berbagai kerusakan tubuh di tingkat bio molekuler akibat rokok.

Program bersama

Kebiasaan merokok meningkatkan angka kematian akibat TB sebesar 2,8 kali. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan peran merokok untuk meningkatkan kematian akibat penyakit jantung iskemik (1,6 kali) dan penyakit serebrovaskuler/stroke (1,5 kali), walaupun memang jauh lebih rendah dari perannya mengakibatkan kematian akibat kanker paru yang 15 kali lebih sering pada perokok dibandingkan bukan perokok. Untuk Indonesia perlu dilakukan penelitian lebih lanjut antara kebiasaan merokok-khususnya kretek-dan tuberkulosis ini.

Sementara itu, perlu adanya program penanggulangan bersama antara TB dan rokok. Saat ini kita telah punya program penanggulangan TB paru yang secara umum ditangani pemerintah dengan dibantu masyarakat. Program ini telah lama dilaksanakan, telah lebih tertata, kendati sampai saat ini belum mampu juga menurunkan jumlah kasus TB secara berarti. Di pihak lain, program penanggulangan rokok bahkan tampaknya belum tertata jelas di negara kita. Seyogianya kedua program ini dapat saling memperkuat satu dengan lainnya. Efektivitas dan efisiensi sumber daya dapat lebih dijamin, mengingat asap rokok masuk tubuh melalui paru dan TB juga sebagian besar ada di paru. Penderita TB harus diminta untuk segera berhenti merokok.

Para perokok juga harus diminta segera berhenti merokok agar mereka tidak jatuh sakit-kebiasaan merokok berhubungan dengan 25 penyakit-termasuk mendapat TB. Kalau saja kita hanya berpangku tangan maka adanya hubungan saling memperkuat antara kebiasaan merokok dan tuberkulosis akan merusak derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Tjandra Yoga Aditama, Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan, Jakarta



Tidak ada komentar: